
Kajian Islam, Ilmu Pengetahuan, dan Peradaban (KITAAB) ICMI Orda Sleman, Sabtu (12/3) lalu mengangkat tema “Al-Qur’an dan Nalar Sains”. Dalam edisi ini, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional Dr. Khoirul Himmi Setiawan, M.Agr. menuturkan bahwa terdapat dua kutub yang saling berlawanan terkait hubungan agama (yang dalam konteks ini direpresentasikan oleh Al-Quran sebagai kitab suci dalam agama Islam) dan ilmu pengetahuan/sains. Kutub pertama menganggap agama itu berhadapan vis a vis dengan sains, sedangkan kutub kedua – yang diyakini seorang muslim – adalah Al-Quran selalu relevan dengan sains. Menurutnya, sebagai cendekiawan muslim, kita harus menggunakan basis kerangka nilai yang ada pada bidang Al-Qur’an dan bidang sains untuk “mendialogkan” hubungan antar-keduanya.
Mengutip karya Imam Zakaria al-Anshari, ilmu menurut sifatnya terbagi menjadi ilmu dharuri dan nadzori. Ilmu dharuri adalah ilmu menunjang akal dan fitrah manusia, seperti fakta bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta pasti ada penciptanya. Sementara itu, ilmu nadzori terkait dengan pencarian, pemikiran, serta usaha-usaha manusia untuk menggapai pengetahuan yang tadinya tidak diketahui. Ketika dikaitkan dengan iman, Al-Quran dalam berbagai ayat yang membahas tentang ilmu pengetahuan selalu menyandingkan ilmu dengan iman. Misalnya dalam Q.S. Al-Alaq: 1 yang memerintahkan Nabi Muhammad untuk membaca dengan menyebut nama Allah, atau ayat-ayat yang membahas ulul ‘albab (orang yang berakal).
Masih menurut Imam Zakaria al-Anshari, ilmu agama merupakan hukum yang “tetap”, artinya sudah pada level “yakin” serta tidak menerima kemungkinan mengalami perubahan teori atau pemahaman sehingga dimasukkan sebagai ilmu dharuri. Sementara itu apa yang kita ketahui sebagai sains sendiri sebenarnya tidak selevel dengan ilmu agama, tapi sebatas penemuan saja. Dengan demikian, sains termasuk dalam ilmu nadzor, yang melibatkan proses berpikir yang akan sampai kepada ilmu (dharuri/level “yakin”). Kalau tidak sampai pada ilmu “yakin”, paling tidak proses tersebut sampai pada suatu pendirian atau pendekatan yang asumtif; dan ini masih sah dalam ranah sains.
Menurut Khoirul, para ulama menyebut setidaknya 3 basis tindakan/perilaku/amal untuk menggali sebuah ilmu pengetahuan. Basis pertama adalah dzikir, mengingat Allah sebagai landasan melakukan sesuatu. Basis kedua adalah tafakkur, perenungan mendalam mengenai alam semesta dalam kerangka bahwa alam adalah ciptaan Allah. Basis terakhir adalah tadabbur, yakni perenungan mendalam terhadap makna dari ajaran dan keilmuan Islam.
Beliau juga menyinggung kurang banyaknya pakar keagamaan yang membahas isu-isu kontemporer seperti isu lingkungan. Menurutnya, hal tersebut merupakan kritikan bahwa umat Islam saat ini masih belum banyak menggali nilai-nilai yang ada dalam agamanya sendiri untuk menjadi landasan teori untuk memecahkan masalah seperti ini. Nilai-nilai universal dalam Al-Qur’an, lanjutnya, dalam tafsir-tafsir tradisional penafsirannya baru sebatas dialog iman saja, sehingga model-model perenungan terhadap ayat-ayat yang sifatnya universal perlu didorong dan diperluas kajiannya. (Rama SP)
Silakan berlangganan YouTube ICMI Sleman untuk mendapatkan rekaman KITAAB terbaru, dan lihat daftar diskusi KITAAB terdahulu di sini.