
Seiring dengan berkembangnya teknologi, begitu pula dengan kajian-kajian keilmuan yang turut dipengaruhi olehnya. Salah satunya ialah ruang publik (public sphere), sebuah konsep sosiologi yang pertama kali diungkapkan oleh ilmuwan asal Jerman Jurgen Habermas. Ruang bersama untuk mengakomodasi aspirasi dan kepentingan masyarakat ini kini bukan hanya muncul di dunia nyata, melainkan juga bertransformasi dalam dunia maya. Menurut Kepala Program Studi Politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Prof. Dr. Sunyoto Usman, M.A., transformasi ruang publik ke ranah digital melahirkan peradaban politik baru sekaligus sisi gelap tersendiri.
Dalam paparannya di Kajian Islam, Ilmu Pengetahuan, dan Peradaban (KITAAB) ICMI Orda Sleman “Ruang Publik (Public Sphere) di Era Digital” Sabtu (6/7) lalu, beliau menjelaskan bahwa konsep ruang publik muncul di tengah pergeseran ekonomi di Jerman pada masa Habermas dari kapitalisme liberal menjadi kapitalisme monopoli, yang semakin meneguhkan para pemilik modal menguasai kegiatan ekonomi. Dalam hal ini, masyarakat sipil dapat mencurahkan aspirasinya, baik kepada pemerintah, komunitas politik, kapitalis, hingga organisasi sosial dalam ruang publik agar lebih berpihak kepada masyarakat. Ruang ini – dengan beberapa ciri khas seperti kesamaan ide, bahasa, dan kesempatan – memproduksi gagasan-gagasan kritis untuk kepentingan bersama.
Konsep ruang publik tidak lepas dari teori kritis terhadap kapitalisme, termasuk di antaranya ialah teori Marxisme yang membahas relasi kaum kapitalis dan kelompok buruh yang timpang karena terjadi eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh. Oleh karena itu, salah satu rekomendasi Marxisme adalah revolusi yang mengganti kapitalisme menjadi sosialisme. Walau begitu, menurutnya, kapitalisme akan dapat memperoleh bentuk-bentuk baru dan melakukan ‘pembelaan’. Perusahaan dapat saja melibatkan para buruh dan memberi hak-hak tertentu pada mereka, seperti porsi saham perusahaan, hak berserikat, dan jaminan sosial; namun dalam realitanya kapitalisme masih dapat melakukan eksploitasi.

Di dunia digital, ruang publik memperoleh bentuk-bentuk baru yang jauh lebih kompleks. Media sosial telah mendorong perubahan komunikasi politik (karena berlangsung cepat, langsung, luas, dan liberal) dan melahirkan sebuah komunitas virtual/maya berupa masyarakat digital. Komunitas ini berbasis akun yang maya, alih-alih berbasis latar belakang tertentu dari dunia nyata. Interaksi tidak lagi berbasis satu orang per satu orang, melainkan banyak orang ke banyak orang (many to many). Menurutnya, hal ini menimbulkan dampak yang positif terhadap pergerakan sosial masyarakat, namun tetap harus diwaspadai oleh karena potensi eksploitasi yang dimiliki imbas perkembangan teknologi.
Ruang publik digital dapat menciptakan klaster-klaster politik yang terbentuk karena kesamaan nasib dan gagasan. Klaster politik dapat memproduksi narasi-narasi yang mengokohkan kesamaan tersebut, termasuk di antaranya adalah hoaks. Hoaks inilah yang menurut Prof. Usman menjadi suatu permasalahan fatal, apalagi bila hoaks itu ditopang dengan algoritma dan didukung para cendekiawan.
Di samping itu, ruang publik digital juga memiliki beberapa sisi gelap. Asosiasi/organisasi dan jalinan komunikasi yang terlibat dapat cenderung mengutamakan kepentingan sendiri daripada kepentingan bersama, sehingga sebagian narasi sulit diartikulasi menjadi kebijakan publik. Aktor-aktor di dalamnya dinilai tidak dapat mengembangkan kepercayaan dan hubungan saling menguntungkan oleh karena banyaknya hoaks yang beredar. Perbedaan pandangan di dalamnya juga menyebabkan konsensus sulit disepakati. (Rama SP)
Silakan berlangganan YouTube ICMI Sleman untuk mendapatkan rekaman KITAAB terbaru, dan lihat daftar diskusi KITAAB terdahulu di sini.